Ambiguitas
Birokrasi
Oleh : Yakob KM Ismail
Pergantian kabinet di dalam
pemerintahan adalah sesuatu yang wajar terjadi dan merupakan sebuah dinamika sistem
demokrasi yang berjalan di pemerintahan. Namun demikian, dalam perjalanannya
pergantian kabinet sering ditemukan banyaknya persoalan-persoalan pemerintahan
baik dari sisi kelembagaan maupun personalnya kabinet yang membantu presiden
dalam lima tahun kedepan. Sejak berdirinya Indonesia, di jaman awal kemerdekaan
dulu persoalan pemerintah sudah terjadi, diantaranya adalah persoalan politik, administrasi
negara, kelembagaan dan ideologi yang semuanya itu terangkum dalam perjalanan
pemerintahan Indonesia selanjutnya.
Dalam perjalanan pemerintahan
tersebut, terlintas dalam pemikiran saya
bahwa setiap pergantian pemerintahan struktur kabinet dan kelembagaannya pasti akan
menjadi bagian dari wacana publik yang penting. Yaitu seperti apa portofolio
yang akan dibentuk, Seperti apa kementerian non portofolio yang akan
dipertahankan, serta apakah keberadaan menteri koordinator masih perlu
dipertahankan. Semuanya ini tentunya akan menjadi bagian dari wacana publik
yang penting diperhatikan.
Seperti contoh, Lembaga kepresidenan sebagai lembaga yang sangat dekat dengan kekuasaan eksekutif diharapkan dapat menjadi panutan dan contoh Kementerian lain dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Dimana lembaga kepresidenan harus mampu menjawab pertanyaan dari pemangku kepentingan termasuk publik yang merindukan terbentuknya pemerintahan yang efisien efektif dan bertanggung jawab.
Seperti contoh, Lembaga kepresidenan sebagai lembaga yang sangat dekat dengan kekuasaan eksekutif diharapkan dapat menjadi panutan dan contoh Kementerian lain dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Dimana lembaga kepresidenan harus mampu menjawab pertanyaan dari pemangku kepentingan termasuk publik yang merindukan terbentuknya pemerintahan yang efisien efektif dan bertanggung jawab.
Seperti yang telah kita ketahui
bersama, bahwa dalam satu dekade pemerintahan SBY ada beberapa isu yang sering
menjadi bagian dari perdebatan publik seperti keberadaan Menko yang dinilai
tidak efektif, pemerintahan cenderung gemuk, tidak efisien dan lambat merespon
dinamika terjadi diluar pemerintah, dan menjamurnya lembaga non kementerian dan
lembaga non struktural. Hal ini sangatlah bermanfaat apabila lembaga
kepresidenan mampu menyampaikan gagasan-gagasan yang inovatif dan out of the box tentang hal itu. Maka
keberadaannya Lembaga Kepresidenan sebagai tangki administrasi kebijakan akan
dirasakan oleh para pemangku kepentinga nya serta masyarakat secara luas.
Namun permasalahannya adalah berbagai
persoalan yang dihadapi oleh lembaga kepresidenan dalam membantu Presiden
menjalankan roda pemerintahan, baik Presiden sebagai kepala negara maupun
sebagai kepala pemerintahan. Dalam setiap pergantian kabinet tersebut lembaga
kepresidenan selalu menghadapi dilema organisasi. Sebagai contoh, satu sisi
lembaga kepresidenan ingin mempertahankan eksistensi birokrasinya sebagai sporting system yaitu memberikan
pelayanan kepada presiden. Namun, satu sisi lembaga kepresidenan dihadapkan
oleh adanya orang-orang yang mempunyai kepentingan di samping presiden.
Persoalan ini, saya teringat ketika
membaca bukunya Profesor Agus Dwiyanto yang mengutip perdebatan antara Herman
finer dan Carl J Friedrich pada tahun 1940 tersebut mempersoalkan tentang apakah
seorang administrator seharusnya tunduk kepada putusan politik atau pada
nilai-nilai profesionalnya. Dalam awal perjalanan Ilmu Administrasi Publik
pernah berkembang pemikiran yang ingin memisahkan antara politik dan
administrasi. Keduanya dianggap sebagai sesuatu yang berbeda secara distinct (sejenis) bukan berbeda pada
tingkatan.
Dikotomi politik dan administrasi menganggap bahwa politik dan administrasi memiliki tugas yang berbeda yaitu pertama, terkait dengan pembuatan kebijakan sedangkan yang kedua, bertugas melaksanakannya. Keduanya juga melibatkan aktor yang berbeda. Kegiatan politik melibatkan pejabat yang dipilih dan political appointee sedangkan kegiatan administrasi melibatkan pejabat karir. Administrasi beroperasi di arena birokrasi sedangkan politik di parlemen dan kabinet.
Dikotomi politik dan administrasi menganggap bahwa politik dan administrasi memiliki tugas yang berbeda yaitu pertama, terkait dengan pembuatan kebijakan sedangkan yang kedua, bertugas melaksanakannya. Keduanya juga melibatkan aktor yang berbeda. Kegiatan politik melibatkan pejabat yang dipilih dan political appointee sedangkan kegiatan administrasi melibatkan pejabat karir. Administrasi beroperasi di arena birokrasi sedangkan politik di parlemen dan kabinet.
Carl J Friedrich berpendapat bahwa
nilai-nilai internal seperti profesionalisme sudah cukup menjadi alat kontrol
bagi administrator, tanpa harus ada intervensi politik. Sebaliknya Herman Finer
berpendapat bahwa administrasi harus tunduk pada kontrol pejabat politik karena
mereka dipilih oleh rakyat termasuk oleh administrator itu sendiri. Pejabat yang
dipilih memiliki otoritas untuk membuat putusan politik yang harus dilaksanakan
oleh administrator sebagai pejabat karir. Pejabat politik memiliki kewenangan
untuk menentukan What is good for the
people.
Sebagai representasi warga mereka menentukan apa kemauan warga atau apa yang terbaik untuk konstituennya. Namun dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembuatan kebijakan administrator yang menguasai informasi. Mereka juga memiliki keahlian dan pengalaman yang dapat dipakai memahami kepentingan publik sementara pejabat politik seringkali justru sebaliknya. Sebagian pejabat politik sering miskin informasi dan pengalaman. Perdebatan antara Friedrich dan Finer ini melahirkan berbagai kontroversi bukan hanya soal dikotomi politik administrasi melainkan juga perdebatan tentang konsep responsibilitas dan akuntabilitas.
Sebagai representasi warga mereka menentukan apa kemauan warga atau apa yang terbaik untuk konstituennya. Namun dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembuatan kebijakan administrator yang menguasai informasi. Mereka juga memiliki keahlian dan pengalaman yang dapat dipakai memahami kepentingan publik sementara pejabat politik seringkali justru sebaliknya. Sebagian pejabat politik sering miskin informasi dan pengalaman. Perdebatan antara Friedrich dan Finer ini melahirkan berbagai kontroversi bukan hanya soal dikotomi politik administrasi melainkan juga perdebatan tentang konsep responsibilitas dan akuntabilitas.
Tanpa harus terperangkap pada
perdebatan tersebut, saya hanya ingin menegaskan bahwa dalam kondisi yang ada
di Indonesia sekarang ini dengan sistem rekrutmen
aktor politik tersebut polical oppointee
yang cenderung menghasilkan pejabat politik yang tidak jelas integritas dan
kualitasnya maka aparatur sipil negara yang profesional harus berani memiliki
"dissenting opinion" . Jika
akal sehat dan nilai-nilai profesionalisme yang dimiliki aparatur sipil negara
memberikan arahan yang berbeda dengan keputusan yang diambil oleh pejabat
politik yang menjadi pimpinannya.
Jika mengikuti logika dikotomi
politik administrasi dan pertanggungjawaban berbasis pada peraturan dan
keputusan politik seorang administrator seharusnya melaksanakan keputusan
pejabat politik sebagaimana adanya. Apabila ada pertentangan antara birokrasi
atau aparatur sipil negara dengan pejabat publik maka seperti yang dikatakan
oleh Herman Finer dan para pengikutnya bahwa tindakan tersebut adalah merupakan
tindakan indisipliner.
Namun satu sisi administrator bukan
robot melainkan pemegang profesi yang memiliki keahlian tertentu akal sehat dan
hati nurani yang seharusnya dimanfaatkan untuk membantu para pejabat politik
agar keputusannya menggambarkan yang terbaik bagi warganya. Oleh karena itu
menjadi kewajiban seorang administrator untuk mengkritik peraturan yang menurut
pendapatnya jika peraturan tersebut diikuti maka tidak membawa kemaslahatan publik.
Dengan berpandangan tersebut
diatas, tentunya ada harapan baru dalam ilmu pemerintahan dapat memberikan
batas tentang kewenangan mana yang harus dilakukan oleh aparatur sipil Negara dan
mana yang harus dilakukan oleh polical
oppointee, dalam menerjemahkan pelaksanaan pemerintahan yang mempunyai tujuan
yang sama dalam melaksanakan pemerintahan kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar