SELAMAT DATANG

DI BLOG PRO PERUBAHAN

Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit .

Terima kasih, anda telah bergabung di Blog pro perubahan. Saya berharap dengan bergabungnya anda di bolg ini dapat memberikan warna baru dan pemikiran baru dalam kemajuan bangsa dan negara. Apabila anda berkenan, Saya harapkan berikan komentar atas tulisan, artikel, polling, dan opini yang Saya postingkan. Semua permintaan ini, harapan Saya hanya satu yaitu mendapatkan kritikan, masukan untuk kemajuan isi blog pro perubahan kedepan. Terimakasih.

29/03/17

Birokrasi


Ambiguitas Birokrasi
Oleh : Yakob KM Ismail

Pergantian kabinet di dalam pemerintahan adalah sesuatu yang wajar terjadi dan merupakan sebuah dinamika sistem demokrasi yang berjalan di pemerintahan. Namun demikian, dalam perjalanannya pergantian kabinet sering ditemukan banyaknya persoalan-persoalan pemerintahan baik dari sisi kelembagaan maupun personalnya kabinet yang membantu presiden dalam lima tahun kedepan. Sejak berdirinya Indonesia, di jaman awal kemerdekaan dulu persoalan pemerintah sudah terjadi, diantaranya adalah persoalan politik, administrasi negara, kelembagaan dan ideologi yang semuanya itu terangkum dalam perjalanan pemerintahan Indonesia selanjutnya.

Dalam perjalanan pemerintahan tersebut,  terlintas dalam pemikiran saya bahwa setiap pergantian pemerintahan struktur kabinet dan kelembagaannya pasti akan menjadi bagian dari wacana publik yang penting. Yaitu seperti apa portofolio yang akan dibentuk, Seperti apa kementerian non portofolio yang akan dipertahankan, serta apakah keberadaan menteri koordinator masih perlu dipertahankan. Semuanya ini tentunya akan menjadi bagian dari wacana publik yang penting diperhatikan. 

Seperti contoh, Lembaga kepresidenan sebagai lembaga yang sangat dekat dengan kekuasaan eksekutif diharapkan dapat menjadi panutan dan contoh Kementerian lain dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Dimana lembaga kepresidenan harus mampu menjawab pertanyaan dari pemangku kepentingan termasuk publik yang merindukan terbentuknya pemerintahan yang efisien efektif dan bertanggung jawab.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa dalam satu dekade pemerintahan SBY ada beberapa isu yang sering menjadi bagian dari perdebatan publik seperti keberadaan Menko yang dinilai tidak efektif, pemerintahan cenderung gemuk, tidak efisien dan lambat merespon dinamika terjadi diluar pemerintah, dan menjamurnya lembaga non kementerian dan lembaga non struktural. Hal ini sangatlah bermanfaat apabila lembaga kepresidenan mampu menyampaikan gagasan-gagasan yang inovatif dan out of the box tentang hal itu. Maka keberadaannya Lembaga Kepresidenan sebagai tangki administrasi kebijakan akan dirasakan oleh para pemangku kepentinga nya serta masyarakat secara luas.

Namun permasalahannya adalah berbagai persoalan yang dihadapi oleh lembaga kepresidenan dalam membantu Presiden menjalankan roda pemerintahan, baik Presiden sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Dalam setiap pergantian kabinet tersebut lembaga kepresidenan selalu menghadapi dilema organisasi. Sebagai contoh, satu sisi lembaga kepresidenan ingin mempertahankan eksistensi birokrasinya sebagai sporting system yaitu memberikan pelayanan kepada presiden. Namun, satu sisi lembaga kepresidenan dihadapkan oleh adanya orang-orang yang mempunyai kepentingan di samping presiden.

Persoalan ini, saya teringat ketika membaca bukunya Profesor Agus Dwiyanto yang mengutip perdebatan antara Herman finer dan Carl J Friedrich pada tahun 1940 tersebut mempersoalkan tentang apakah seorang administrator seharusnya tunduk kepada putusan politik atau pada nilai-nilai profesionalnya. Dalam awal perjalanan Ilmu Administrasi Publik pernah berkembang pemikiran yang ingin memisahkan antara politik dan administrasi. Keduanya dianggap sebagai sesuatu yang berbeda secara distinct (sejenis) bukan berbeda pada tingkatan.

Dikotomi politik dan administrasi menganggap bahwa politik dan administrasi memiliki tugas yang berbeda yaitu pertama, terkait dengan pembuatan kebijakan sedangkan yang kedua, bertugas melaksanakannya. Keduanya juga melibatkan aktor yang berbeda. Kegiatan politik melibatkan pejabat yang dipilih dan political appointee sedangkan kegiatan administrasi melibatkan pejabat karir. Administrasi beroperasi di arena birokrasi sedangkan politik di parlemen dan kabinet.

Carl J Friedrich berpendapat bahwa nilai-nilai internal seperti profesionalisme sudah cukup menjadi alat kontrol bagi administrator, tanpa harus ada intervensi politik. Sebaliknya Herman Finer berpendapat bahwa administrasi harus tunduk pada kontrol pejabat politik karena mereka dipilih oleh rakyat termasuk oleh administrator itu sendiri. Pejabat yang dipilih memiliki otoritas untuk membuat putusan politik yang harus dilaksanakan oleh administrator sebagai pejabat karir. Pejabat politik memiliki kewenangan untuk menentukan What is good for the people.

Sebagai representasi warga mereka menentukan apa kemauan warga atau apa yang terbaik untuk konstituennya. Namun dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembuatan kebijakan administrator yang menguasai informasi. Mereka juga memiliki keahlian dan pengalaman yang dapat dipakai memahami kepentingan publik sementara pejabat politik seringkali justru sebaliknya. Sebagian pejabat politik sering miskin informasi dan pengalaman. Perdebatan antara Friedrich dan Finer ini melahirkan berbagai kontroversi bukan hanya soal dikotomi politik administrasi melainkan juga perdebatan tentang konsep responsibilitas dan akuntabilitas.

Tanpa harus terperangkap pada perdebatan tersebut, saya hanya ingin menegaskan bahwa dalam kondisi yang ada di Indonesia sekarang ini dengan sistem rekrutmen aktor politik tersebut polical oppointee yang cenderung menghasilkan pejabat politik yang tidak jelas integritas dan kualitasnya maka aparatur sipil negara yang profesional harus berani memiliki "dissenting opinion" . Jika akal sehat dan nilai-nilai profesionalisme yang dimiliki aparatur sipil negara memberikan arahan yang berbeda dengan keputusan yang diambil oleh pejabat politik yang menjadi pimpinannya.

Jika mengikuti logika dikotomi politik administrasi dan pertanggungjawaban berbasis pada peraturan dan keputusan politik seorang administrator seharusnya melaksanakan keputusan pejabat politik sebagaimana adanya. Apabila ada pertentangan antara birokrasi atau aparatur sipil negara dengan pejabat publik maka seperti yang dikatakan oleh Herman Finer dan para pengikutnya bahwa tindakan tersebut adalah merupakan tindakan indisipliner.

Namun satu sisi administrator bukan robot melainkan pemegang profesi yang memiliki keahlian tertentu akal sehat dan hati nurani yang seharusnya dimanfaatkan untuk membantu para pejabat politik agar keputusannya menggambarkan yang terbaik bagi warganya. Oleh karena itu menjadi kewajiban seorang administrator untuk mengkritik peraturan yang menurut pendapatnya jika peraturan tersebut diikuti maka tidak membawa kemaslahatan publik.

Dengan berpandangan tersebut diatas, tentunya ada harapan baru dalam ilmu pemerintahan dapat memberikan batas tentang kewenangan mana yang harus dilakukan oleh aparatur sipil Negara dan mana yang harus dilakukan oleh polical oppointee, dalam menerjemahkan pelaksanaan pemerintahan yang mempunyai tujuan yang sama dalam melaksanakan pemerintahan kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar