Zaman Omong Kosong
Oleh
: Dr. Alfan Alfian (Pengamat Politik)
DI antara buku-buku tentang “post-truth” yang mampir ke
rumah saya adalah Evan Davis, Post Truth, Why We Have Reached Peak
Bullshit and We Can Do About It (London: Little, Brown, 2017).
Kita tahu, “post-truth” alias
pasca-kebenaran ialah kata tahun ini pada 2016 versi Oxford
Dictionaries. Ihwal ini sesungguhnya sudah banyak diulas orang.
Fenomena peristiwa khususnya juga sudah lewat: Brexit dan menangnya Donald
Trump di AS.
Tapi, di sini, masih banyak yang kurang ngeh dengan
hal itu. Misalnya, suatu sore, mahasiswa saya mengejar saya hanya untuk
menyampaikan gagasan bahwa dia mau teliti (untuk ditulis dalam rancangan usulan
proposal tesis) mengapa Donald Trump menang di AS.
“Oh, kalau itu perspektifnya, bisa populisme politik atau bisa
yang lain. Tapi, yang jelas, dia juga bersinggungan dengan post-truth, kata
yang populer di zaman kita itu,” kata saya persis ketika pintu lift telah
membuka.
“Apa itu, Pak?” tanyanya.
“Post ... truth, post-truth.”
“Apa?”
Oh, berarti dia memang belum banyak membaca dan mengikuti
berbagai ulasan. Dia memang generasi milenial kelihatannya: kreatif tapi kurang
banyak baca.
*
Buku Evan Davis tentu satu dari sekian buku-buku bertema sejenis
yang ditulis dengan gaya populer. “Isu pokok yang menjadi jantung buku ini,”
catat Evan Davis (hal. xv) “...tentang sebuah masyarakat pasca-kebenaran, ialah
mengapa terdapat begitu banyaknya omong kosong.”
Ya, Davis menunjukkan kata kunci bullshit alias
omong kosong. Itulah yang dipaparkannya di pembuka bukunya: “Bhullshit
old and new.” Dari sini, kita catat, masalah omong kosong, yang
tentu saja merefleksikan hal yang penuh kebohongan, merupakan masalah sepanjang
masa.
Omong kosong itu, menurut Davis, macam-macam pengertiannya, tapi
intinya ya tetap terkait dengan kebohongan. Dia menekankan bahwa segala bentuk
komunikasi, verbal atau nonverbal, yang tidak jelas atau pernyataan sangat
ringkas rasionalisasi keyakinan sang komunikator (hal. xiv).
Mencoba membohongi (deceive) tanpa (bermaksud)
bohong (lying), juga termasuk omong kosong.
Berbagai cara yang dimaksudkan untuk mengesankan, menggelapkan (obfuscate),
atau guna menarik perhatian, itu juga omong kosong. Hal-hal yang terkait dengan
yang bersifat membingungkan, artifisial, ketidaktulusan, pergunjingan, itu
semua berada di ranah peromongkosongan (hal. 14).
Masalahnya, di zaman kita, kemasifan omong kosong itu sudah
keterlaluan, karena efek penggandaannya begitu cepat oleh sosial media. Omong
kosong ialah hal yang eksesif. Masyarakat menjadi terbiasa terjebak pada
labirin omong kosong tanpa pernah cepat menyadarinya.
Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh subjudul buku Evan Davis
yang punya pengalaman luas sebagai presenter radio dan televisi ini, kita telah
berkecenderungan berlomba merengkuh puncak omong kosong itu.
Buku ini ditulis secara mengalir dalam bab-bab mengenai apa,
siapa, dan bagaimana. Di bab mengenai apa, diutak-atik soal truth, post-truth dan post-fact.
Uraiannya penuh contoh.
Ketika membedah fakta dan kebohongan, dia mengingatkan soal
fenomena dusta (mendacity) dalam memutar fakta suatu isu. Maka,
dikupaslah salah satu silsilah ketiga tentang bohong (omong kosong adalah yang
kedua) yakni: near-lie, atau tindakan
yang menyerempet-nyerempet bohong. Hal itu timbul manakala seseorang sengaja
memakai kata-kata yang benar untuk maksud memberi kesan yang salah, atau
mispersepsi (hal. 8).
Silsilah ketiganya, berupa pernyataan yang (sesungguhnya)
keliru. Hal ini lazim dinyatakan dalam frase “economical with
the truth”. Bahwa ada informasi lain yang sengaja tak ditampilkan
untuk menjelaskan fenomena ekonomi, justru karena yang menyajikan sengaja
menyeleksi fakta-fakta (hal. 13). Hal ini mengingatkan fenomena kebohongan
statistik, kan?
Yang keempat, terkait dengan soal pelintiran (spin).
Dia terkait dengan upaya memilih fakta tertentu, membesar-besarkannya,
mengolahnya, seolah-olah benar sama sekali (hal. 19). Lantas, diuraikan juga
tentang penipuan dengan mengarahkan orang lain terjerembab dalam khayalannya
(hal. 24).
Sampai di sini, kita jadi ingat hal-ihwal teknik-teknik
propaganda. Ya, semuanya berurusan dengan masalah peromongkosongan, untuk
tujuan dan maksud-maksud tertentu, tak hanya di dunia politik, tapi juga
bidang-bidang lainnya.
Lalu, apa yang disebut post-truth itu
sendiri? Kita telah menangkapnya, ketika Evan Davis membawa lari isunya ke
omong-omong soal omong kosong.
Sekian, bersambung minggu depan. Pengajian buku ini dalam kolom
kali ini, baru di halaman-halaman awalnya. Padahal tebalnya 347 halaman. Masih
banyak hal yang akan kita “pergunjingkan” minggu depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar