SELAMAT DATANG

DI BLOG PRO PERUBAHAN

Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit . Welcome In This Blog . Thanks For Your Visit .

Terima kasih, anda telah bergabung di Blog pro perubahan. Saya berharap dengan bergabungnya anda di bolg ini dapat memberikan warna baru dan pemikiran baru dalam kemajuan bangsa dan negara. Apabila anda berkenan, Saya harapkan berikan komentar atas tulisan, artikel, polling, dan opini yang Saya postingkan. Semua permintaan ini, harapan Saya hanya satu yaitu mendapatkan kritikan, masukan untuk kemajuan isi blog pro perubahan kedepan. Terimakasih.

26/03/17

Pemerintahan


Birokrasi Tersandera Politik?
Oleh : Yakob KM Ismail

Pagi-pagi dengan udara yang sangat segar di kota Depok, Jawa Barat, dan ditemani alunan musik, saya membaca buku dengan judul "Birokrasi Dalam Politik" yang ditulis oleh Profesor Mulyarto Tjokrowinoto. Beliau adalah Guru Besar ilmu Administrasi Negara dan dosen Universitas Gadjah Mada, yang juga merupakan dosen saya kuliah waktu di Yogyakarta. Ada beberapa hal yang menarik dalam tulisan beliau terutama yang menyangkut masalah politisasi birokrasi.

Dikatakannya, bahwa birokrasi merupakan sesuatu yang sangat unik untuk diperbincangkan dan hal ini juga perlu untuk dicermati. Mengapa dicermati? karena birokrasi adalah institusi modern yang wajib ada dalam khasanah penyelenggaraan pelayanan publik baik secara teoritis maupun empirik. Pencermatan terhadap kinerja birokrasi inilah yang nantinya bisa membawa pemikiran kita pada sebuah penilaian menyangkut orientasi apa yang sesungguhnya diemban oleh birokrasi. Hal ini perlu digarisbawahi, mengingat meskipun birokrasi diyakini sebagai organ pelayanan publik tak seorangpun bisa menjamin bahwa ia mungkin saja berubah menjadi "monster" yang menyengsarakan publik.
Seperti kita ketahui bersama bahwa birokrasi dalam keseharian kita selalu dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi bahwa apapun yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam rangka melayani kepentingan warga masyarakat yang diwakili oleh institusi yang bernama birokrasi tersebut. Walaupun persepsi ini mengandung titik-titik kelemahan, yang bisa jadi menyesatkan. Namun sampai saat ini, pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan.
Pemaknaan terhadap birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang sifatnya idealis. Bahkan, tak salah jika Max Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang rasional, sesuatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri khas. Tetapi diakui atau tidak, pemaknaan yang ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah sepenuhnya bisa menjelaskan orientasi birokrasi di Indonesia. Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja ditandai oleh dominan yang aspek politis di bawah komando penguasa negara. Kasus birokrasi pada masa orde lama, dan terlebih lagi di masa orde baru pada dasarnya merupakan cermin dari kekuatan penguasa negara dalam mencekam tubuh birokrasi sehingga birokrasi tidak dapat berbuat banyak bagi masyarakat.
Kehidupan birokrasi yang ditumpangi atau bahkan didominasi muatan muatan politis oleh penguasa negara jelas menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibatnya, orientasi pelayanan publik yang semestinya dijalankan menjadi bergeser ke arah orientasi yang sifatnya politis. Dalam kondisi ini, birokrasi tidak lagi abstrak dan ramah dengan kehidupan masyarakat. Namun, justru menjaga jarak dengan masyarakat sekelilingnya. Performance birokrasi yang kental dengan aspek-aspek politis inilah yang pada gilirannya melahirkan stigma "politisasi birokrasi".
Dari pandangan Profesor Mulyarto Tjokrowinoto inilah, saya berpikir mengapa birokrasi menjadi bulan-bulanan para politisi untuk menguasai kekuasaan. Padahal, secara garis besar antara politisi dan birokrasi mempunyai kekuasaan yang berbeda-beda dan juga dapat bersanding di dalam membangun sebuah negara. Kedua konteks ini, di dalam negara berkembang mungkin sangat sulit untuk diterapkan karena akibat dari pemahaman membangun sebuah pemerintahan masih dimaknai dengan merebut sebuah kekuasaan.

Namun optimisme masih berharap kepada ilmuwan pemerintahan. Hal ini mungkin bisa menjadi pemikiran baru dalam rangka memberikan masukan bahwa membangun pemerintahan kedepan harus bisa membedakan antara peran politik dan juga peran birokrasi di dalam membangun sebuah negara yang berorientasi kepada kemakmuran masyarakat secara luas dan seadil-adilnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar